Muhammadiyah Kota Balikpapan - Persyarikatan Muhammadiyah

 Muhammadiyah Kota Balikpapan
.: Home > Artikel

Homepage

“MERDEKA” MENGUAK TAFSIR SEJARAH YANG TERLUPAKAN

.: Home > Artikel > Fatwa Muhammadiyah
17 Agustus 2017 20:38 WIB
Dibaca: 1391
Penulis : Isman Saleh

 “Merdeka” seolah menjadi kata yang mengisi ruang kehidupan dan menjadi daya potensial yang tidak pernah habis untuk digali dan ditafsirkan. Adalah hal yang wajar jika setiap kali memperingati proklamasi kemerdekaan ada banyak komentar dan pandangan yang mencoba memberi makna baru terhadap istilah ini.

Ada yang memaknai kemerdekaan dengan menggunakan pendekatan linguistik. Menurut  pendekatan ini merdeka adalah  hadirnya pengakuan yang sah dari bangsa lain tentang  identitas ke-Indonesia-an sebagai bangsa yang berhak mewarisi dan menghuni kepulauan nusantara.

Ada juga yang menafsirkannya dengan menggunakan pendekatan fungsional. Ada beragam corak tafsir bisa ditemukan melalui pendekatan ini, mulai dari yang pesimis, skeptis sampai yang optimis. Meski yang paling sering ditemui adalah pendekatan pesimistik misalnya dengan mengatakan bahwa kemerdekaan belum terwujud karena bangsa ini belum seimbang dan setara dalam percaturan global, atau masih belum mandiri mengelola sumber daya alamnya.

Dari sekian banyak pendekatan tafsir yang ada, menggali makna kemerdekaan melalui pendekatan sejarah belum banyak mendapat perhatian. Padahal pendekatan sejarah sangat berperan untuk merajut kembali ikatan emosional anak negeri yang kini sedang tergerus oleh perilaku pongah sebagian elit bangsa.

Pendekatan sejarah menawarkan pilihan solusi, daripada hanya sekedar mengutuk kenyataan hidup yang rumit dan kompleks. Pada saat tafsir linguistik  dan fungsional membenturkan ide-ide kemerdekaan yang idealistik dengan kesempatan kerja yang semakin sempit, kesenjangan ekonomi yang semakin melebar, pemerataan pembangunan yang tidak merata.  Pendekatan sejarah justru menghadirkan kembali sistem nilai yang melatar belakangi peristiwa proklamasi kemerdekaan sehingga terhindar dari kesimpulan subjektif dan spekulatif.

Dalam hal ini, menarik untuk mencermati Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ketiga yang  mempermaklumkan bahwa kemerdekaan negeri ini diraih atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas.

Pernyataan ini  mengekspresikan suasana kebatinan pendiri bangsa yang meyakini bahwa kemerdekaan melambangkan “kodrat Ilahiyah” yang harus diperjuangkan dan dipertahankan sampai kapan pun. Artinya merdeka adalah proses bukan akhir, merdeka adalah fase atau tahapan menuju kesempurnaan hidup dimata Sang Pencipta.

Dalam frasa “rahmat Allah” tergambar relung hati para pendiri bangsa yang menghendaki bahwa kemerdekaan adalah pintu masuk mewujudkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan. Bahwa bangsa merdeka yang mereka impikan adalah bangsa yang penduduknya hidup dalam suasana terhormat dan berwibawa dengan atmosfer keagamaan yang kental dengan kreasi kemanusiaan yang beradab dalam mengelola sumber daya alam Nusantara.

Kentalnya pandangan ketuhanan ini juga ditegaskan kembali pada  sila Kelima Pancasila yang menyatakan bahwa pengelola Negara wajib mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keadilan sendiri adalah bentuk frasa yang berasal dari konsep Islam, secara leksikal adil berarti at tawassuth bayna at tafrith wa al ifrath yang artinya menciptakan keseimbangan dengan menyelesaikan kesenjangan antara kemaslahatan dan kemudaratan.

Keseimbangan tercipta dengan menjembatani antara “apa yang seharusnya“ dengan “apa yang terjadi”. Dalam keseharian “apa yang seharusnya” berwujud norma atau hukum, sementara “apa yang terjadi“ berbentuk fisik dan non fisik misalnya konflik sejatinya lahir dari watak yang rakus dan tabiat yang pongah.

Dalam bentuknya yang kongkret keadilan sosial adalah pengelolaan asset dan sumber daya alam  Bangsa tidak boleh melahirkan keterbelahan ekonomi, misalnya kemiskinan yang terwariskan dan konglomerasi yang terstruktur.

Merdeka menurut pendekatan sejarah artinya proses yang terus berlangsung untuk memantaskan negeri ini sebagai negeri yang layak mendapat rahmat Ilahiyah melalui supremasi nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia

Melegalkan praktek konglomerasi melalui berbagai macam Undang-Undang seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan, UU Sumber Daya Air merupakan segelintir contoh di antara sekian banyak contoh bagaimana pengelola Negara dalam praktek telah membangkangi spirit moral keadilan sosial.

Wallah A’lam bishawab


Tags: muhammadiyah , balikpapan
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website